Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali menegaskan untuk tidak memajukan isterinya, Kristiani (Ani) Yudhoyono, sebagai calon presiden, para petinggi Partai Demokrat lainnya ternyata masih terus mendorong-dorong tampilnya sang Ibu Negara. Jika Presiden serius dengan pernyataannya, mengapa SBY tak kunjung menegur petinggi partai yang cenderung menjerumuskannya?
Barangkali itulah fenomena politik Indonesia, atau tepatnya gaya politik Jawa, yang tak kunjung berubah hingga kini. Ungkapan verbal seorang pemimpin ataupun petinggi parpol dengan latar kultur Jawa belum tentu dapat diartikan sebagaimana bunyi pernyataan verbal. Soalnya, di luar ungkapan verbal, masih ada bahasa tubuh berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan intonasi suara, yang pemaknaannya bisa berbeda dan bahkan mungkin bertolak belakang dengan bahasa verbal.
Mantan penguasa abadi rejim Orde Baru, almarhum Soeharto, dikenal luas sebagai representasi figur pemimpin yang hampir selalu menggunakan langgam dan gaya politik Jawa ini. Para menteri dan orang terdekat Soeharto harus faham betul makna di balik bahasa tubuh sang pandito Orde Baru tersebut. Jika elite lingkar dalam Istana hanya bertolak dari bahasa verbal tanpa mencoba memahami makna bahasa tubuh Soeharto, bisa dipastikan akan menjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.
SBY dan Pengkultusan
Pertanyaannya, apakah pernyataan publik Presiden SBY terkait pencapresan Ani Yudhoyono sungguh-sungguh sebagai sikap final seperti dikemukakan secara verbal, atau sikap sementara yang bisa saja berubah bersamaan dengan berlalunya waktu serta semakin dekatnya Pemilu 2014. Dengan kata lain, apakah pernyataan verbal SBY benar-benar mencerminkan kehendak dan suasana hati sang jenderal kelahiran Pacitan ini? Secara singkat kita barangkali bisa menjawab, hanya SBY dan Tuhan yang tahu.
Sebenarnya konstitusi kita menjamin, siapa pun memiliki hak politik untuk menjadi pejabat publik, termasuk sebagai calon presiden. Apalagi bagi seorang Ani Yudhoyono yang pernah menjabat Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, parpol terbesar hasil Pemilu 2009, dan selama dua periode mendampingi Presiden SBY sebagai Ibu Negara. Jadi, wajar saja jika sejumlah petinggi Demokrat mewacanakannya sebagai salah seorang calon presiden dari partai segitiga biru.
Persoalannya barangkali bukan sekadar masalah hak politik individu Ani Yudhoyono dan hak institusi Partai Demokrat yang hendak mengusungnya sebagai capres. Juga bukan semata-mata soal “hak geneologis” Ani Yudhoyono sebagai puteri Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang heroik dan berjasa memimpin penumpasan para pendukung Gerakan 30 September 1965. Lebih jauh dari itu, pencapresan Ani agak mengkhawatirkan karena posisi dan statusnya sebagai Ibu Negara sekaligus isteri bagi Presiden SBY.
Artinya, pencapresan Ani Yudhoyono bisa dipandang sebagai cara segelintir petinggi Demokrat mengkultuskan keluarga SBY, sehingga seolah-olah tidak ada figur lain yang lebih layak ketimbang isteri Presiden. Di sisi lain, sikap ngotot petinggi Demokrat padahal sang suami melarangnya, juga bisa dilihat sebagai praktik kultur politik ABS –asal bapak senang—ala Orde Baru yang sudah kita tolak. Karena itu, jika tidak ada makna lain di balik pernyataan publik Presiden, sang Ketua Dewan Pembina semestinya menegur “kelancangan” para petinggi Demokrat pada kesempatan pertama.
Kehendak Rakyat
Lalu mengapa SBY membiarkan para petinggi Demokrat tetap mewacanakan pencapresan isterinya? Ada beberapa kemungkinan jawabannya. Pertama, SBY membiarkan Ruhut Sitompul dan kawan-kawan terus “bernyanyi” tentang pencapresan Ani karena ingin mengetahui reaksi publik dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap figur isterinya. Jika publik dapat menerima Ani sebagai salah satu capres, tentu tidak sulit bagi SBY “meluruskan” kembali pernyataannya, misalnya dengan mengatakan bahwa pencapresan Ani Yudhoyono, isterinya, adalah “kehendak rakyat”.
Kedua, SBY tidak menegur Ruhut dan petinggi Demokrat lain karena sang Ketua Dewan Pembina sendiri masih gamang, siapa kira-kira yang layak diusung partainya sebagai capres dalam pemilu mendatang. Meski banyak nama beredar, hampir tidak satu pun yang benar-benar menonjol dibandingkan yang lain. Hasil survei publik sejauh ini hanya menyebut nama-nama Megawati (PDI Perjuangan), Prabowo Subianto (Gerinda), Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie (Golkar), serta Mahfud MD (nonpartai), yang memiliki tingkat elektabilitas agak lumayan. Ironisnya, tidak seorang pun di antaranya berasal dari Demokrat.
Ketiga, secara personal Presiden SBY sejak lama dikenal tidak memiliki sikap konfrontatif, termasuk kepada para kader Demokrat sendiri. Pencapresan Ani adalah hak politik para kader Demokrat yang tidak harus sama dengan sikap politik pribadi SBY yang tidak hendak menjerumuskan sang isteri dalam lumpur kekuasaan yang masih keruh.
Fenomena Partai Demokrat dapat diibaratkan sebagai balada dari parpol relatif baru, lalu menjadi pemenang pemilu, namun gagal mengelola momentum “kebesaran”nya sebagai aset untuk investasi kepemimpinan masa depan. Kepemimpinan Presiden SBY yang lembek dan cenderung tunduk pada tekanan koalisi parpol pendukungnya di DPR adalah sebagian sumber kegagalan itu di samping ketidakmampuan para kader Demokrat memahami bahasa tubuh SBY.
Sumber lain adalah wabah korupsi yang menjerat beberapa kader Demokrat yang akhirnya mengantar M. Nazaruddin, mantan bendahara umum, ke penjara. Jika kader-kader Demokrat lainnya, termasuk Ketua Umum Anas Urbaningrum, dinyatakan terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, tidak mustahil balada Demokrat berlanjut hingga Pemilu 2014.
Karena itu kini persoalannya terpulang kepada SBY, apakah akan membiarkan nasib Demokrat “digoreng” oleh media dan akhirnya ditelan sejarah, atau secara ksatria memanfaatkan sisa waktu kepresidenannya untuk mewariskan sesuatu yang bermakna dan bakal terus diingat bangsa ini bertahun-tahun ke depan.
(Dimuat dalam Kompas, 8 Juni 2012).
Tinggalkan Balasan